Yang Harus Dilakukan Dalam Tayammum
YANG HARUS DILAKUKAN DALAM TAYAMMUM
Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc
Tayamum disyariatkan dalam Islam sebagai pengganti wudhu dan mandi wajib dengan syarat dan ketentuannya. Syariat menetapkan hal-hal yang harus dilakukan dalam tayamum sehingga sempurna dan sah amalan tersebut. Para ulama fikih menjelaskan ada tiga hal yang harus dilakukan yaitu mengusap wajah dan tangan, Tartîb (berurutan) dan al-muwalâh. [1]
UKURAN TANGAN YANG DIUSAP.
Para ulama fikih sepakat mengusap wajah dan kedua tangan adalah perkara yang wajib dilakukan dalam tayamum (Furûdh at-Tayamum), sehingga tidak sah tayamum kecuali dengan mengusap keduanya baik tayamum dari hadats kecil ataupun besar.[2]
Ijma’ ini dinukilkan oleh beberapa ulama diantaranya imam an-Nawawi rahimahullah[3] dan Ibnu Qudâmah rahimahullah[4]. Para ulama ini sepakat berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla :
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ
“Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau berhubungan badan dengan perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan permukaan bumi yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu”. [Al Mâidah/5 : 6].
Juga berdalil dengan hadits Amâr bin Yâsir Radhiyallahu anhu yang berbunyi:
بَعَثَنِى رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فِى حَاجَةٍ فَأَجْنَبْتُ ، فَلَمْ أَجِدِ الْمَاءَ ، فَتَمَرَّغْتُ فِى الصَّعِيدِ كَمَا تَمَرَّغُ الدَّابَّةُ ، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ « إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ أَنْ تَصْنَعَ هَكَذَا » . فَضَرَبَ بِكَفِّهِ ضَرْبَةً عَلَى الأَرْضِ ثُمَّ نَفَضَهَا ، ثُمَّ مَسَحَ بِهَا ظَهْرَ كَفِّهِ بِشِمَالِهِ ، أَوْ ظَهْرَ شِمَالِهِ بِكَفِّهِ ، ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusku untuk suatu keperluan, kemudian aku mengalami junub dan aku tidak menemukan air. Maka aku berguling-guling di tanah sebagaimana layaknya hewan yang berguling-guling di tanah. Kemudian aku ceritakan hal tersebut kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Lantas beliau mengatakan, “Sesungguhnya cukuplah engkau melakukannya seperti ini”. Seraya beliau memukulkan telapak tangannya ke permukaan bumi sekali pukulan lalu meniupnya. Kemudian beliau mengusap punggung telapak tangan kanannya dengan tangan kirinya dan mengusap punggung telapak tangan kirinya dengan tangan kanannya, lalu beliau mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.[HR. Al-Bukhâri no. 347, Muslim no. 368].
Namun mereka berbeda pendapat tentang ukuran wajib dalam mengusap kedua tangan dalam tiga pendapat:
- Diwajibkan mengusap kedua tangan sampai siku. Ini adalah pendapat mazhab Hanafiyahdan satu pendapat dalam mazhab Mâlikiyah dan dalam mazhab Syâfi’iyah termasuk pendapat imam asy-Syâfi’i dalam al-Qaulul jadid.[5]
- Diwajibkan hanya mengusap kedua telapak tangan saja. Ini adalah pendapat imam asy-Syâfi’i dalam al-Qaulul Qadim dan mazhab Hanâbilah. [6]
- Yang diwajibkan hanya mengusap telapak tangan saja tapi disunnahkan sampai siku. Inilah pendapat yang masyhur dalam mazhab Mâlikiyah dan dirajihkan Abu Ya’la rahimahullah dari ulama Hanâbilah. [7]
Sebab perbedaan pendapat para ulama ini kembali kepada dua perkara:
- Kata Tangan (اليَد) dalam bahasa Arab memiliki tiga pengertian; pertama untuk pengertian telapak tangan saja, kedua untuk pengertian telapak tangan dan hasta, serta ketiga untuk pengertian telapak tangan, hasta dan lengan bagian atas.
- Perbedaan hadits-hadits yang ada tentang tata cara tayamum. [8]
Pendapat yang rajih adalah pendapat kedua dengan dasar:
a. Pengertian tangan dalam firman Allâh Azza wa Jalla :
فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ
sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu”. (Al Mâidah/5 : 6) adalah telapak tangan, karena Allâh Azza wa Jalla menyebutnya secara mutlak. Biasanya pengertiannya adalah telapak tangan seperti dalam ayat hukuman pencuri. [9]
Ditambah dengan penjelasan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Amâr bin Yâsir Radhiyallahu anhu dalam sabda beliau:
« إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ أَنْ تَصْنَعَ هَكَذَا » . فَضَرَبَ بِكَفِّهِ ضَرْبَةً عَلَى الأَرْضِ ثُمَّ نَفَضَهَا ، ثُمَّ مَسَحَ بِهَا ظَهْرَ كَفِّهِ بِشِمَالِهِ ، أَوْ ظَهْرَ شِمَالِهِ بِكَفِّهِ ، ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ
Sesungguhnya cukuplah engkau melakukannya seperti ini”. Seraya beliau memukulkan telapak tangannya ke permukaan bumi sekali pukulan lalu meniupnya. Kemudian beliau mengusap punggung telapak tangan (kanan)nya dengan tangan kirinya dan mengusap punggung telapak tangan (kiri)nya dengan tangan kanannya, lalu beliau mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.[HR. Bukhari no. 347, Muslim no. 368].
b. Hadits Amâr bin Yâsir ini adalah hadits yang sahih dan jelas menunjukkan kewajiban mencukupkan dengan mengusap wajah dan kedua telapak tangan saja. [10]
c. Tidak ada hadits yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan Beliau mengusap tangan dalam tayamum hingga siku. Riwayat yang ada hanya shahih mauqûf kepada sahabat, sehingga perkataan dan perbuatan sahabat yang menyelisihi sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dapat dijadikan dasar hukum.
d. Amâr bin Yâsir Radhiyallahu anhu sendiri sebagai perawi hadits berfatwa setelah wafatnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mewajibkan hanya mengusap wajah dan kedua telapak tangan saja.[11]
Dengan demikian jelaslah kekuatan pendapat ini, Wallâhu a’lam.
APAKAH HARUS MENGUSAP SELURUH WAJAH DAN TELAPAK TANGAN?
Para ulama berbeda pandangan tentang keharusan mengusap seluruh bagian muka dan telapak tangan dalam dua pendapat:[12]
- Wajib mengusap seluruhnya sehingga semua wajah dan telapak tanganharus diusap dengan debu dan tidak boleh ada yang tidak kena. Inilah pendapat mayoritas ulama diantaranya mazhab Hanafiyah, Mâlikiyah, Syâfi’iyah dan Hanâbilah.
- Tidak wajib menyeluruh, cukup mengusap mayoritas bagian tersebut telah mewakili seluruhnya. Ini adalah satu riwayat dari Abu Hanifah, dan pendapat Ibnu Maslamah dari ulama Mâlikiyah serta Ibnu Hazm.
Pendapat yang rajih adalah pendapat kedua dengan alasan:
a. Tidak ada dalil tegas yang menunjukkan kewajiban mengusap secara menyeluruh dalam tayamum. Semua hadits yang ada tidak menyebutkan kecuali mengusap wajah dan kedua telapak tangan. Kebiasaan syariat tentang mengusap tidak menuntut mengusap seluruhnya secara rata.
Ibnu Hazm rahimahullah berkata: Sesungguhnya kata al-Masah (المَسْحُ) tidak ada dalam syariat kecuali pada empat hal; mengusap kepala, mengusap wajah dan kedua telapak tangan, mengusap Khuf (kaus kaki kulit), imamah dan kerudung dan mengusap hajar aswad dalam Thawaaf. Tidak ada seorangpun yang berbeda dengan kami dalam masalah ini berselisih bahwa mengusapkhuf dan mengusap hajar aswad tidak harus menyeluruh (mengenai seluruhnya). Demikian juga orang yang menyelisihi kami memandang tidak harus menyeluruh dalam mengusap imamah dan kerudung. kemudian mereka melanggar ketentuan ini dalam tayamum sehingga mewajibkannya tanpa dasar yang kuat. [13]
b. Pensyaratan mengusap keseluruhan mengandung unsur kesulitan dan hal ini ditiadakan dalam syariat.
c. Seandainya hal itu diwajibkan oleh syariat tentulah disyariatkan untuk diulang mengusapnya. Karena tidak ada, maka hal ini tidak diwajibkan.
d. Menganalogikannya dengan mengusap kepala dalam wudhu. Mengusap seluruh kepala tidak diwajibkan mengenai seluruh permukaan kepala demikian juga dalam tayamum.
wallâhu a’lam
KEWAJIBAN BERURUTA DALAM TAYAMUM (AT-TARTIIB).
Para ulama berbeda pendapat apakah berurutan dalam tayamum hukumnya fardhu atau sunnah dalam tiga pendapat:
- Hukumnya sunnah baik dari hadats kecil atau besar. Inilah pendapat mazhab Hanafiyah, Mâlikiyah dan satu pendapat dalam mazhab Hanâbilah. [14]
- Hukumnya fardhu baik dari hadats kecil atau besar. Inilah pendapat mazhab Syâfi’iyah. [15]
- Hukumnya fardhu dari hadats kecil dan sunah dari hadats besar. Inilah pendapat mazhab Hanâbilah.[16]
Pendapat yang rajih adalah pendapat ketiga yang membedakan antara hadats kecil sebagai pengganti wudhu dan hadats besar sebagai pengganti mandi wajib. alasannya adalah:
a. Firman Allâh Azza wa Jalla :
فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ
sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu”. (Al Mâidah/5 : 6). Ayat yang mulia ini memulai dengan wajah sebelum kedua telapak tangan, sehingga menunjukkan kewajiban berurutan dalam tayamum. Hal ini juga hadits Amâr bin Yâsir
b. Hadits Amâr bin Yâsir Radhiyallahu anhu yang berbunyi:
بَعَثَنِى رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فِى حَاجَةٍ فَأَجْنَبْتُ ، فَلَمْ أَجِدِ الْمَاءَ ، فَتَمَرَّغْتُ فِى الصَّعِيدِ كَمَا تَمَرَّغُ الدَّابَّةُ ، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ « إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ أَنْ تَصْنَعَ هَكَذَا » . فَضَرَبَ بِكَفِّهِ ضَرْبَةً عَلَى الأَرْضِ ثُمَّ نَفَضَهَا ، ثُمَّ مَسَحَ بِهَا ظَهْرَ كَفِّهِ بِشِمَالِهِ ، أَوْ ظَهْرَ شِمَالِهِ بِكَفِّهِ ، ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusku untuk suatu keperluan, kemudian aku mengalami junub dan aku tidak menemukan air. Maka aku berguling-guling di tanah sebagaimana layaknya hewan yang berguling-guling di tanah. Kemudian aku ceritakan hal tersebut kepada Nabi shallAllâhu ‘alaihi was sallam. Lantas beliau mengatakan, “Sesungguhnya cukuplah engkau melakukannya seperti ini”. Seraya beliau memukulkan telapak tangannya ke permukaan bumi sekali pukulan lalu meniupnya. Kemudian beliau mengusap punggung telapak tangan (kanan)nya dengan tangan kirinya dan mengusap punggung telapak tangan (kiri)nya dengan tangan kanannya, lalu beliau mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.[HR. Bukhâri no. 347, Muslim no. 368].
Jelas dalam hadits ini ada ungkapan kata (ثُمَّ) yang dalam bahasa Arab digunakan untuk berurutan (tartiib) sehingga tangan didahulukan dari wajah. Oleh karena itu Syeikh Muhammad al-Amîn asy-Syinqithy rahimahullah menyatakan: Hadits al-Bukhâri ini adalah Nash dalam mendahulukan kedua tangan dari wajah.[17] Demikian juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan: Riwayat al-Bukhaari jelas menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusapkan punggung telapak tangan sebelum wajah. [18]
Namun dalam surat al-Mâidah ayat ke-6 diatas didahulukan wajah dari telapak tangan yang sesuai juga dengan hadits Amâr bin Yâsir Rahimahullah dalam salah satu lafadz riwayat al-Bukhâri,
وَمَسَحَ وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ وَاحِدَةً
“Dan beliau mengusap wajahnya dan kedua telapak tangannya dengan sekali usapan”.
Hadits Amâr bin Yâsir Radhiyallahu anhu ada disebabkan masalah menghilangkan hadats besar. Sehingga untuk mengkompromikannya dihukumi tidak wajib berurutan wajah dahulu kemudian kedua telapak tangan dalam tayamum dari hadats besar dan tetap pada tayamum dari hadits kecil hukumnya wajib. Dengan cara demikian terkompromikan seluruh dalil-dalil berkenaan dengan masalah ini, sehingga lebih layak dirajihkan.
c. Adanya kesepakatan para ahli fikih tentang tidak wajibnya berurutan dalam mandi dengan air. [19]Apabila tidak diwajibkan berurutan pada mandi dengan air yang merupakan pokok dan asalnya, Tentunya tidak diwajibkan pada tayamum lebih memungkinkan lagi.
d. Sedangkan dalam wudhu diwajibkan berurutan sesuai dengan ayat wudhu, maka demikian juga dalam tayamum dari hadats kecil pun demikian. Sebab tayamum adalah pengganti wudhu dan pengganti mengambil hukum yang digantikannya.
Wallâhu a’lam.
KEWJIBAN AL-MUWALAH
Al-muwalâh adalah tidak mengakhirkan pengusapan anggota tayamum sehingga kering yang sebelumnya seandainya itu dicuci secara waktu yang sedang. Ukurannya adalah waktu yang terjadi pada cucian air wudhu mengering dari satu anggota wudhu yang dicuci.
Para ulama fikih sepakat tentang pensyariatan al-muwalâh antara anggota tayamum, namun berbeda pendapat tentang hukumnya fardhu atau bukan, dalam tiga pendapat:
- Hukumnya sunah dalam tayamum baik dari hadats besar atau kecil. Ini adalah pendapat mazhab Hanafiyah, Syâfi’iyah dan satu pendapat dalam mazhab Hanâbilah. [20]
- Hukumnya fardhu dalam tayamum baik dari hadats besar ataupun kecil. Ini adalah pendapat mazhab Mâlikiyah[21].
- Hukumnya fardhu dari hadats kecil dan sunah dari hadats besar. Ini adalah pendapat Madzhab Hanâbilah[22].
Pendapat yang rajih dalam masalah ini adalah pendapat yang ketiga dengan alasan :
a. Qiyâs (analogi) kepada thahârah dengan air, sebagaimana diwajibkan al-muwalâh dalam wudhu tanpa mandi maka demikian juga pada tayamum.
b. Pendapat yang mewajibkan al-muwalâh dalam mandi membutuhkan dalil syar’i. Tidak ada dalil syar’i yang shahih dan jelas menunjukkan kewajiban al-muwalâh dalam mandi, bahkan yang diperintahkan dalam mandi hanyalah memandikan seluruh badan saja. Bagaimana cara mandinya maka telah menunaikan kewajiban dalam mandi tersebut. Apabila tidak wajib al-muwalâh dalam mandi, maka demikian juga tidak wajib pada penggantinya. Berbeda dengan wudhu yang ada dalil syar’i menunjukkan kewajiban al-muwalâh. Hadits Jâbir Radhiyallahu anhu beliau berkata:
أَخْبَرَنِي عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ، أَنَّ رَجُلًا تَوَضَّأَ فَتَرَكَ مَوْضِعَ ظُفُرٍ عَلَى قَدَمِهِ فَأَبْصَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: «ارْجِعْ فَأَحْسِنْ وُضُوءَكَ» فَرَجَعَ، ثُمَّ صَلَّى
Umar bin al-Khathâb Radhiyallahu anhu menceritakan kepadaku bahwa seorang berwudhu lalu menyisakan seukuran kuku di tumit kakinya (tidak terkena air wudhu), Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya dan berkata: Kembalikah lalu perbaikilah wudhu kamu! lalu ia kembali (berwudhu) kemudian shalat. [HR Muslim no.243].
Al-Qâdhi ‘Iyâdh rahimahullah berkata: Dalam hadits ini terdapat dalil kewajiban al-muwalâh dalam wudhu, karena sabda beliau:
ارْجِعْ فَأَحْسِنْ وُضُوءَكَ
(Kembalikah lalu perbaikilah wudhu kamu!) Dan tidak menyatakan : Cucilah bagian tersebut yang kamu tidak cuci. [23]
Apabila diwajibkan al-muwalâh pada wudhu, maka tayamum yang mengantikannya juga diwajibkan sebab pengganti memiliki hukum yang digantikan.
Wallâhu a’lam.
Demikian sebagian masalah seputar tata cara tayamum, semoga bermanfaat.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XXI/1439H/2017M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Lihat al-Fiqhul Muyassar 1/131
[2] Lihat al-Umm 2/103
[3] Lihat Syarh Shahih Muslim 4/279
[4] Lihat al-Mughni 1/133
[5] Lihat al-Mabsûth 1/107, al-Mudawwanah 1/42, al-Umm 2/102-103 dan al-Majmû’ 2/168
[6] Lihat al-Hâwi 2/900, al-Furû’ 1/298
[7] Lihat Mawâhibul Jaliil 1/522, al-Furû’ 1/298 dan Syarh Muntahâ al Irâdat 1/200
[8] Bidâyatul Mujtahidîn 1/136
[9] Lihat al-Mughni 1/322
[10] Lihat al-Fiqhul Muyassar 1/132
[11] Lihat al-Mughni 1/323 dan Fathul Bâri 1/530
[12] Lihat al-Mabsûth 1/107, Badâ`i’ ash-Shanâ`i’ 1/314-315, al-Muntaqâ 1/114, Mawâhibul Jalîl 1/510-511, al-Umm 2/103, al-Majmû’ 2/168, al-Mughni 1/331, Kasyâf al-Qonaa’ 1/411 dan al-Muhalla 1/100
[13] Al-Muhalla1/100
[14] Lihat al-Mabsûth 1/131, Mawâhibul Jalîl 1/522 dan al-Inshâf 1/274
[15] Lihat al-Umm 3/301 dan al-Majmû’ 2/186
[16] Lihat al-Inshâf 1/274
[17] Adh-wâ’ul Bayân 2/43
[18] Majmû’ al-Fatâwa 21/425
[19] Lihat al-Mabsûth 1/44, adz-Dzakhîrah 1/310, al-Umm 2/89 dan al-Inshâf 1/246
[20] Lihat al-Mabsûth 1/131, al-Majmû’ 2/186, al-Inshâf 1/274
[21] Lihat al-Mudawwanah 1/44
[22] Al-Inshâf 1/274
[23] Ikmâl al-Mu’allim 2/40 lihat al-Mufhîm 1/498.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/11009-yang-harus-dilakukan-dalam-tayammum.html